Header Ads

ad728
  • Breaking News

    Karakteristik Calon Kepala daerah dalam Pilkada

     



    perjalanan pilkada dari 2005 hingga kini secara perlahan menggambarkan bahwa kekuatan ketokohan telah menggeser dominasi parpol dalam mempengaruhi pilihan. Ini sekaligus mengasumsikan bahwa perolehan suara parpol-parpol pada Pemilu 2019, baik nasional maupun lokal, tidak selalu (bahkan kecil) berkorelasi dengan kekuatan (elektabilitas) kandidat-kandidat yang ada. Pun, diperkuat dengan karakter cairnya koalisi di level nasional dan lokal. Artinya, komposisi koalisi di level nasional tidak konsisten dengan di level lokal.

    Memang di atas kertas parpol tentu berkomitmen untuk memenangkan pilkada di daerah-daerah. Namun dalam praktiknya, koalisi yang terbentuk untuk mengusung suatu pasangan calon (paslon) biasanya hanya berkutat pada prosentase atau jumlah kursi di DPRD untuk mendaftarkan paslonnya. Setelah itu, pada saat kampanye untuk menggalang dukungan di kalangan pemilih, mesin partai kerap tidak bekerja maksimal, sehingga paslon harus berjibaku sendiri. Terkecuali apabila terdapat suatu parpol yang bisa mengusung paslonnya sendiri tanpa harus berkoalisi.

    Di sisi lain, kalaupun ada pengaruh kekuatan parpol terhadap kandidat, itu terjadi pada saat proses penentuan rekomendasi dari ketua umum parpol. Dalam konteks ini parpol mempunyai pengaruh besar dalam penentuan siapa paslon yang akan running, namun berkebalikan ketika paslon berkampanye tersebut.

    Kedua, perihal efek ekor jas (coat-tail effect). Walaupun telah banyak analisis yang mengatakan bahwa coat tail-effect kecil dalam Pemilu Legislatif 2019, namun agaknya akan berbeda dalam momentum pilkada. Kemungkinan figur yang telah menasional, khususnya yang pernah berada di lingkaran kekuasaan, tentu lebih besar dipilih dibanding yang belum menasional. Apalagi jika kandidat tersebut berprestasi. Ia dapat memanfaatkan riwayatnya --katakanlah bersama dengan Presiden saat menjadi menteri, misalnya-- untuk dikomodifikasi secara politik. Sebaliknya, hal ini akan menjadi tantangan cukup berat bagi kandidat yang tidak memiliki track record menasional.

    Berkaitan dengan itu, coat-tail effect agaknya kurang efektif manakala terdapat petahana dua periode yang mengajukan kandidat penggantinya. Hal ini karena aturan perundangan tidak lagi memungkinkan petahana dua periode untuk mencalonkan diri lagi sebagai wakil. Nah, kandidat yang mengandalkan pengaruh dari petahana di belakangnya, namun tidak didampingi sebagai wakil, ia tetap harus berkeringat ekstra untuk merebut dukungan pemilih. Namun ini kurang begitu relevan bagi praktik politik dinasti, dimana petahana yang menyokong memiliki hubungan famili dengan kandidat.

    Ketiga, gelombang pasang pemilih muda melalui perangkat digital, baik secara kuantitas demografis maupun intensitasnya di media sosial. Ini tidak hanya sebatas pada momentum elektoral, melainkan pula dalam pertarungan isu politik sehari-hari. Dalam konteks pilkada, strategi dan pendekatan kampanye digital semakin menemukan signifikansinya. Namun, ibarat pisau bermata dua, hal ini berimplikasi pada efek positif maupun negatif.

    Secara positif, tawaran visi-misi-program dapat menyebar secara cepat, efisien dan efektif. Pernak-pernik seputar kandidat juga kerap mewarnai proses kampanye, seperti aktivitas sehari-hari, spontanitas yang mengharukan maupun kocak, hingga meme dan sebagainya. Dalam hal ini, ungkapan-ungkapan seperti the personal is political atau all politics is personal sangat relevan untuk memahami tren politik kekinian.

    Sekaligus berkaitan dengan itu, keempat, isu primordial masih menjadi daya tarik yang mewarnai dinamika kandidasi. Sayangnya, atas nama kekuasaan, primordialisme kerap dieksploitasi menjadi isu SARA yang dapat meretakkan kohesivitas sosial. Fenomena post-truth merupakan efek samping digitalisasi kampanye, khususnya di daerah-daerah yang secara kultural-historis memiliki riwayat konfliktual.

    Kelima, berseiring dengan pendekatan virtual, pendekatan blusukan juga masih efektif untuk menyentuh sisi emosional pemilih, khususnya bagi Generasi X (1965-1980) dan Baby Boomers (1846-1964). Sebagian mereka ingin melihat langsung sosok calon pemimpin yang dielu-elukan. Bagaimana perangai, ekspresi dan karakter kandidat akan terlihat langsung dan natural ketika terjadi perjumpaan. Walau demikian, baik pendekatan digital maupun blusukan hendaknya tidak dipahami secara dikotomis, melainkan justru diselaraskan. Bahwa blusukan bisa menjadi materi kampanye virtual, begitupun sebaliknya, kerapkali tayangan di internet mendahului perjumpaan fisik.

    Keenam, seiring dengan makin cerdas dan meleknya masyarakat berpolitik, pengaruh politik uang tidak lagi dominan dalam mempengaruhi pilihan. Survei LIPI pasca Pemilu 2019 (April-Mei 2019) menunjukkan bahwa 46,7% dari 1500 responden di 34 provinsi memaklumi praktik politik uang. Secara tidak langsung hal ini menggambarkan bahwa justru karena praktik ini semakin dimaklumi, maka nilai pengaruhnya menjadi makin berkurang. Pemilih milenial, misalnya, menampakkan kecenderungan yang besar untuk memilih berdasarkan kualitas dan rekam jejak, bukan lantaran transaksional material.

    Terakhir, khususnya bagi daerah-daerah yang tidak lagi memunculkan petahana karena sudah dua periode, tantangan berat bagi kandidat adalah menawarkan visi, misi dan program yang setidaknya dapat mengimbangi apa yang telah dicapai oleh petahana. Atau kalaupun terlalu berat untuk itu, tawaran yang khas dan berbeda dari petahana kiranya dapat menjadi alternatif strategi. Alhasil, di atas itu semua, tentu harapan kita bersama adalah bahwa pilkada mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas dan berprestasi dalam memajukan daerahnya.

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728